Harga…Pricing….Tarif….adalah salah satu komponen penentu dalam suksesnya penjualan suatu produk. Dalam teori marketing 4P (pricing, promotion, product, placing), harga merupakan salah satu yang harus dipertimbangkan. Di Indonesia, dominant masyarakat masih sensitive terhadap harga. Baik itu untuk produk barang, maupun jasa, termasuk jasa layanan telepon seluler. Sampai sejauh manakah harga itu mempengaruhi pengguna seluler ? Apakah harga menjadi satu-satunya strategi bagi operator seluler dalam persaingan bisnis telekomunikasi ?
Di Indonesia, perang tarif antar operator seluler sudah sangat marak terjadi. Seluruh operator berlomba-lomba menurunkan tarif, tentunya dengan promosi dan komunikasi ke pelanggan yang sangat gencar. Bahkan komunikasi yang dilakukan lebih gencar daripada produk consumer (consumer goods). Tujuannya adalah dapat menambah customer based, baik dari hasil akuisisi pelanggan competitor maupun dari hasil penetrasi pasar (pelanggan baru). Selain itu, dengan penurunan tarif, diharapkan volume komunikasi pelanggan semakin meningkat. Sebagai barometernya adalah : peningkatan ARPU (Average Revenue Per User) dan juga MoU (Minutes of Use).
Dalam teori Blue Ocean Strategy disebutkan bahwa sebaiknya kita tidak ikut berperang dalam medan yang sama dengan competitor, melainkan kita membuka peluang yang baru yang belum ada persaingan. Artinya : pricing ataupun perang tarif adalah sesuatu yang harus dihindari. Sebagai gantinya oprator sebaiknya concern kepada pengembangan produk layanan, perluasan coverage dan saluran distribusi baik outlet-outlet maupun service center, dan juga promosi dan komunikasi. Namun bagi operator baru (new comers), tarif murah menjadi suatu keharusan dalam mencari customer based, sedangkan bagi operator incumbent yang sudah memiliki pelanggan relative besar perang tarif ‘tidak menjadi masalah’ untuk me-retensi pelanggan yang ada dan juga menghambat pertumbuhan customer based dari kompetitor. Dengan kata lain, perang tarif memang tidak bisa dihindarkan.
Pricing adalah salah satu strategi dalam marketing mix yang sangat tidak unik. Dalam artian, bahwa strategi ini sangat gampang ditiru. Saat ini, salah satu operator seluler menurunkan tarif, besok pun operator yang lain sebagai kompetitornya bisa langsung menurunkan tarif juga dengan besaran yang sama atau bahkan lebih murah lagi.
Dari beberapa hasil survey tingkat kepuasan pelanggan (yang dilakukan surveyor yang independent), faktor tarif memang merupakan yang paling utama dalam menentukan kepuasan pelanggan. Pada umumnya, survey yang dilakukan untuk mengukur kepuasan pelanggan terhadap tarif dibagi kedalam 3 kategori tarif, yakni : tarif Voice Call, tarif SMS, dan tarif Starterpack. Dalam hal tingkat kepuasan tarif SMS, maka Telkomsel ada pada urutan pertama (hasil survey Juli 2007), diikuti oleh Indosat, XL, dan Three. Demikian juga dengan tarif Voice Call dan perdana (Starterpack), baik untuk paska bayar maupun jenis pra bayar. Namun pada intinya seluruh pelanggan seluler sudah merasa cukup puas dengan kondisi tarif seperti sekarang ini. Faktor penentu kepuasan pelanggan lainnya selain tarif adalah : kualitas produk (drop call ratio, circuit full, no service), after sales services (penanganan gangguan, ketersediaan voucher), dan variasi fitur. Dengan demikian tarif sangat penting pada saat baru akan menggaet customer based dengan cara menawarkan gimmick-gimmick dan diskon yang menggiurkan. Namun bagi operator yang sudah memiliki customer based yang sangat besar sebaiknya harus lebih concern ke kualitas produk dan after sales services.
Kondisi saat ini, dengan perang tarif yang sudah sangat intensif yang ditandai dengan promosi BTL (Below The Line) dan ATL (Above The Line) yang sangat gencar kemungkinan besar pelanggan seluler sudah mulai jenuh dan tidak aware lagi dengan perbedaan tarif. Hal inilah kemungkinan yang mendasari bahwa tingkat kepuasan pelanggan terhadap tarif seluler saat ini cukup tinggi.
Di tengah-tengah perang tarif, pasar/industri seluler di Indonesia masih tetap berkembang sangat pesat. Diprediksikan bahwa dari tahun 2006 ke 2007 pelanggan seluler akan meningkat dari 67,2 juta menjadi 72,7 juta. Dan pada tahun 2008 diperkirakan mencapai angka 80,7 juta pelanggan. Pertumbuhan market size yang masih sangat menjanjikan ini sangat dimungkinkan dengan harga terminal yang juga semakin murah. Saat ini sudah sangat banyak terminal seluler untuk low end.
Jadi dapat disimpulkan bahwa walaupun dengan perang tarif, industri seluler di Indonesia masih tetap akan tumbuh pesat. Hanya saja apakah pemain-pemain dalam bisnis seluler yang ada sekarang bisa tetap bertahan ? Melihat dari pertumbuhan dan prediksi perkembangan market size-nya tersebut malahan masih memungkinkan untuk munculnya operator baru. Namun semuanya itu tergantung dari strategi yang dimainkan oleh operator-operator seluler yang ada. Dan strategi itu sebaiknya tidak cenderung dengan tariff campaign, namun seharusnya lebih fokus ke pengembangan produk dan after sales services dengan tetap mengantisipasi perubahan regulasi yang ada.
Di Indonesia, perang tarif antar operator seluler sudah sangat marak terjadi. Seluruh operator berlomba-lomba menurunkan tarif, tentunya dengan promosi dan komunikasi ke pelanggan yang sangat gencar. Bahkan komunikasi yang dilakukan lebih gencar daripada produk consumer (consumer goods). Tujuannya adalah dapat menambah customer based, baik dari hasil akuisisi pelanggan competitor maupun dari hasil penetrasi pasar (pelanggan baru). Selain itu, dengan penurunan tarif, diharapkan volume komunikasi pelanggan semakin meningkat. Sebagai barometernya adalah : peningkatan ARPU (Average Revenue Per User) dan juga MoU (Minutes of Use).
Dalam teori Blue Ocean Strategy disebutkan bahwa sebaiknya kita tidak ikut berperang dalam medan yang sama dengan competitor, melainkan kita membuka peluang yang baru yang belum ada persaingan. Artinya : pricing ataupun perang tarif adalah sesuatu yang harus dihindari. Sebagai gantinya oprator sebaiknya concern kepada pengembangan produk layanan, perluasan coverage dan saluran distribusi baik outlet-outlet maupun service center, dan juga promosi dan komunikasi. Namun bagi operator baru (new comers), tarif murah menjadi suatu keharusan dalam mencari customer based, sedangkan bagi operator incumbent yang sudah memiliki pelanggan relative besar perang tarif ‘tidak menjadi masalah’ untuk me-retensi pelanggan yang ada dan juga menghambat pertumbuhan customer based dari kompetitor. Dengan kata lain, perang tarif memang tidak bisa dihindarkan.
Pricing adalah salah satu strategi dalam marketing mix yang sangat tidak unik. Dalam artian, bahwa strategi ini sangat gampang ditiru. Saat ini, salah satu operator seluler menurunkan tarif, besok pun operator yang lain sebagai kompetitornya bisa langsung menurunkan tarif juga dengan besaran yang sama atau bahkan lebih murah lagi.
Dari beberapa hasil survey tingkat kepuasan pelanggan (yang dilakukan surveyor yang independent), faktor tarif memang merupakan yang paling utama dalam menentukan kepuasan pelanggan. Pada umumnya, survey yang dilakukan untuk mengukur kepuasan pelanggan terhadap tarif dibagi kedalam 3 kategori tarif, yakni : tarif Voice Call, tarif SMS, dan tarif Starterpack. Dalam hal tingkat kepuasan tarif SMS, maka Telkomsel ada pada urutan pertama (hasil survey Juli 2007), diikuti oleh Indosat, XL, dan Three. Demikian juga dengan tarif Voice Call dan perdana (Starterpack), baik untuk paska bayar maupun jenis pra bayar. Namun pada intinya seluruh pelanggan seluler sudah merasa cukup puas dengan kondisi tarif seperti sekarang ini. Faktor penentu kepuasan pelanggan lainnya selain tarif adalah : kualitas produk (drop call ratio, circuit full, no service), after sales services (penanganan gangguan, ketersediaan voucher), dan variasi fitur. Dengan demikian tarif sangat penting pada saat baru akan menggaet customer based dengan cara menawarkan gimmick-gimmick dan diskon yang menggiurkan. Namun bagi operator yang sudah memiliki customer based yang sangat besar sebaiknya harus lebih concern ke kualitas produk dan after sales services.
Kondisi saat ini, dengan perang tarif yang sudah sangat intensif yang ditandai dengan promosi BTL (Below The Line) dan ATL (Above The Line) yang sangat gencar kemungkinan besar pelanggan seluler sudah mulai jenuh dan tidak aware lagi dengan perbedaan tarif. Hal inilah kemungkinan yang mendasari bahwa tingkat kepuasan pelanggan terhadap tarif seluler saat ini cukup tinggi.
Di tengah-tengah perang tarif, pasar/industri seluler di Indonesia masih tetap berkembang sangat pesat. Diprediksikan bahwa dari tahun 2006 ke 2007 pelanggan seluler akan meningkat dari 67,2 juta menjadi 72,7 juta. Dan pada tahun 2008 diperkirakan mencapai angka 80,7 juta pelanggan. Pertumbuhan market size yang masih sangat menjanjikan ini sangat dimungkinkan dengan harga terminal yang juga semakin murah. Saat ini sudah sangat banyak terminal seluler untuk low end.
Jadi dapat disimpulkan bahwa walaupun dengan perang tarif, industri seluler di Indonesia masih tetap akan tumbuh pesat. Hanya saja apakah pemain-pemain dalam bisnis seluler yang ada sekarang bisa tetap bertahan ? Melihat dari pertumbuhan dan prediksi perkembangan market size-nya tersebut malahan masih memungkinkan untuk munculnya operator baru. Namun semuanya itu tergantung dari strategi yang dimainkan oleh operator-operator seluler yang ada. Dan strategi itu sebaiknya tidak cenderung dengan tariff campaign, namun seharusnya lebih fokus ke pengembangan produk dan after sales services dengan tetap mengantisipasi perubahan regulasi yang ada.
2 comments:
Excellent
kok kita nggak pernah ngobrolin ini waktu makan siang, sungguh suatu pemikiran yang nggak pernah terlihat di permukaan,
mengutip :
Pricing adalah salah satu strategi dalam marketing mix yang sangat tidak unik. Dalam artian, bahwa strategi ini sangat gampang ditiru. Saat ini, salah satu operator seluler menurunkan tarif, besok pun operator yang lain sebagai kompetitornya bisa langsung menurunkan tarif juga dengan besaran yang sama atau bahkan lebih murah lagi.
bisa aja ditiru, tapi kan untuk menurunkan harga kan tidak sama sekali bisa dikatakan meniru, karena kalau tindakan penurunan harga tanpa perhitungan yang tepat malah akan kontraproduktif. jadi malah niru bisa jadi keliru :)
Post a Comment